BAB
I
PENDAHULUAN
Wewenang dan legitimasi sangat erat hubungannya dengan
kekuasaan. Untuk memahami wewenang dan legitimasi, ada baiknya kita memahami
konsep kekuasaan terlebih dahulu. Kekuasaan adalah kemampuan pelaku untuk
mempengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai
dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Singkatnya kekuasaan merupakan cara
seseorang merubah pikiran orang lain agar bertindak sesuai dengan kehendak
pelaku, tanpa menghiraukan kerelaan atau keterpaksaan orang tersebut.
Dengan demikian berarti negara
sebagi pelaku kekuasaan mempunyai kekuatan untuk menggunakan pemaksaan baik
fisik maupun non fisik terhadap warga negaranya. Untuk membatasi kekuasaan,
negara yang demikian maka dibuatlah undang-undang, dan konstitusi suatu negara.
Inti dari pelaksanaan kekuasaan ialah apabila terdapat kerelaan dari seluruh
warga negara untuk menerima perintah dan patuh.
BAB
II
ISI
2.1 KEKUASAAN
2.1.1. Pengertian
Ø Kekuasaan
adalah kemampuan sesorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah
laku sesorang atau sekelompok orang lain sehingga tingkah lakunya menjadi
sesuai dengan keinginan/tujuan seseorang/kelompok orang yang mempunyai
kekuasaan tersebut. (Miriam Budiarjo)
Ø Kekuasaan
adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat
akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap
tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.
(Max Webber)
Ø Kekuasaan
adalah hasil pengaruh yang diinginkan sesorang atau sekelompok orang. Kekuasaan
merupakan konsep kuiantitaif, karena dapat dihitung hasilnya. Misalnya, berapa
lias wilayah jajajahan, berapa banyak orang yenag berhasil dipengaruhi, berapa
lama berkuasa, dll. (Inu Kencana Syafiie)
Ø Kekuasaan
Politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum (pemerintah) baik
terbentuknya mapun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan penegang kekuasaan
sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian kekuasaan sosial yang fokusnya
ditujukan kepada pengendalian negara terhadap tingkah laku sosial masyarakat,
ketaatan masyarakat, dan mempengaruhi aktivitas negara di bidang administratif,
legislatif, dan yudikatif. (MIRIAM BUDIARJO)
2.1.2. Sumber Kuasaan
1. Legitimate
Power. Kekuasaan
yang berasal dari pengangkatan.
Contohnya, Camat diangkat oleh
kepala daerah.Termasuk pengangkatan seorang putera mahkota (pangeran) untuk
menjadi raja.
2.
Coersive Power. Kekuasaan yang berasal dari hasil
kekerasan.
Contohnya, hasil kudeta,
pemberontakan, pembunuhan politik, dan revolusi. Jatuhnya presiden Marcos di
Philipina oleh Corazon Aquino lewat people power. Jatuhnya kekaisaran Lousie di
Perancis, ditandai dengan penyerbuan ke penjara Bastille dan pemotongan kepala
keluarga raja.
3.
Expert Power. Perolehan kekuasaan yang berasal
dari keahlian.
Misalnya,
dokter diangkat menjadi kepala rumah sakit atau menjadi menteri kesehatan,
tentara diangkat dan diberi kewenangan di bidang pertahanan dan keamanan, dll.
4. Reward
Power. Sumber
kekusaan yang berasal dari pemberian.
Misalnya,
tuan tanah yang kaya raya akan dituruti perintahnya oleh para pekerja selama
tuan tanah tersebut memberikan gaji/upah. Apabila tidak ada gaji/upah sebagai
bentuk pemberian, maka pekerja tidak akan bekerja atau menuruti perintah tuan
tanah.
5.
Reverent Power. Sumber kekusaan yang berasal dari
daya tarik atau kharisma. Kekaguman orang kepada Bung Karno, orator ulung,
pidato berapi-api, pandai membangkitkan semangat rakyat—sehingga dipilih
kembali menjadi presiden. Kekaguman orang kepada Soeharto, The Smilling General
dan kepiwaiannya membangun–sehingga dipilih kembali menjadi presiden.
2.1.3. Unsur-Unsur Kekuasaan
1.
Wewenang : adalah kekuasaan yang resmi,
mengandung keabsahan (legitimacy), melalui suatu proses pengangkatan, adanya
surat tugas. Keabsahan adalah konsep bahwa kedudukan seseorang atau kelompok
penguasa diterima baik oleh masyarakat, karena sesuai dengan azas-azas dan
prosedur yang berlaku dan yang dianggap wajar.
Contoh : Seorang atasan mempunyai hak
dan kewajiban menegur bawahannya ketika melakukan sesuatu yang menyalahi
aturan. Misalnya dengan teguran secara lisan maupun tulisan (surat peringatan).
2.
Paksaan : adanya tekanan/ancaman/tuntutan
untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan. Hal ini
sesuai dengan teori Obidience, yang definisinya adalah patuh, perilaku
seseorang yang disebabkan adanya tuntutan tertentu dari pihak lain (seperti
orang tua,kelompok,lingkungan atau instansi pemerintah).
Contoh : Tindakan premanisme,,
seorang preman yang merasa dirinya memiliki kekuasaan di suatu daerah,
senantiasa dia bertindak semena-mena, misal dalam sebuah pasar,,seringkali dia
meminta uang secara paksa kepada para pedagang yang berjualan disana.
3.
Manipulatif : adalah sebuah proses
rekayasa dengan melakukan penambahan, pensembunyian, penghilangan atau
pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan,
fakta-fakta ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan
sebuah tata sistem nilai. Manipulatif erat kaitannya dengan Cuci Otak (Brain
Wash) yang artinya adalah sebuah upaya rekayasa pembentukan ulang tata
berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu menjadi sebuah tata nilai baru,
praktik ini biasanya merupakan hasil dari tindakan indoktrinasi, dalam psikopolitik diperkenalkan dengan bantuan
penggunaan obat-obatan dan sebagainya.
Contoh : Penipuan dalam angkutan
umum,,pelaku senantiasamempengaruhi targetnya dengan berbagai cara, agar si
target bisa masuk kedalam jebakannya. Mereka juga menggunakan tindakan
manipulasi agar si target bisa percaya pada kata-katanya.
4.
Kerjasama : adalah sebuah kata yang
sangat sering kita dengar dan sangat akrab di telinga kita. Kata kerjasama
adalah gabungan dari kata kerja dan sama, yang berarti bekerja secara
bersama-sama dalam mengerjakan sesuatu dan mencapai suatu tujuan. Kerjasama
dibentuk karena adanya dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai
suatu keinginan atau tujuan yang mereka ingin capai. Manfaat dari kerjasama
adalah membuat sutu permasalahan atau pekerjaan lebih mudah.
Contoh : Dalam suatu
lingkungan/kelompok kerjasama senantiasa terjadi diantara anggotanya, Misal
kerjasama suatu kelompok dalam memecahkan suatu permasalahan. Hal ini akan
menimbulkan saling ketergantungan antara anggota kelom[ok yang satu dengan yang
lainnya. Saling ketergantungan antar individu dalam satu kelompok ini disebut promotive
interpendence(Deutsch. 1973)
5.
Upah dan prestasi kerja : prestasi kerja seseorang akan
sesuai dengan upah yang dibayarkannya. Erat kaitannya dengan proses industri,
perusahaan dan sebuah instansi.
Contoh : Seorang karyawan akan memenuhi
apa yang diperintahkan oleh atasannya, semata-mata bukan karena patuh terhadap
atasannya tersebut, tapi melainkan karena upah/reward yang diberikan.
2.1.4. Penerapan
Kekuasaan
1. Be
Strong Approach.
Dengan cara paksaan dan kekerasan. Biasanya menjalankan kekuasaan seperti ini
tidak bertahan lama.
2.
Be Good Approach. Dengan cara pemanjaan pemberian
dan asal bapak senang (ABS). Atasan pura-pura memperhatikan bawahan dengan
berbagai pemberian, bawahan melaporkan yang baik-baik saja atau ABS selama
masih ada pemberian. Kondisi ini biasanya tidak bertahan lama, bila atasan
pemberi perintah tidak dapat mengadakan pemberian.
3.
Competition. Memotivasi bawahan (masyarakat
yang diperintah) dengan cara membuat persaingan atau mengadu mereka antarindividu,
atau antarkelompok. Persaingan tersebut mepiluti kerajinan, keterampilan,
ketangkasan, prestasi, kinerja, keteladanan, dll. Daya saing global, dibangun
dari daya saing lokal, regional, dan nasional. Pendekatan ini dinilai baik.
4.
Internalized Motivation. Memotivasi bawahan atau masyarakat
melalui penanaman kesadaran kerja kepada mereka. Misalnya tata cara kerja,
etika, sumpah jabatan, penataran P4, dll. Cara ini dapat bertahan sepanjang
kesadaran itu muncul dari niat tulus.
5.
Implicit Bergaining. Memotivasi bawahan atau masyarakat
melalui perjanjian (kontrak sosial, kontrak kerja). Cara ini bisa membuat
kekuasaan bertahan (sepanjang masih bisa memenuhi kontrak kerja/sosial) atau
cepat berakhir (bila gagal memenuhi kontrak kerja/sosial).
2.1.5. Pembagian
Kekuasaan
Menurut
Inu Kencana Syafiie, pembagian kekuasan negara meliputi:
1. Eka
Praja, apabila kekuasaan negara dipegang oleh satu badan.
2. Dwi
Praja, apabila kekuasaan negara dipegang oleh dua badan
3. Tri
Praja, apabila kekuasaan negara dipegang oleh tiga badan
4. Catur
Praja, apabila kekuasaan negara dipegang oleh empat badan
5. Panca
Praja, apabila kekuasaan negara dipegang oleh lima badan.
Menurut Gabriel Almond, pembagian
kekuasaan negara meliputi:
1. Rule
Making Function
2. Rule
Application Function
3. Rule
Adjudication Function
Menurut
UUD NKRI 1945 (amandemen ke-4), pembagian kekuasaan negara meliputi:
1. MPR (kekuasaan konstitutif)
2. DPR dan DPD (kekusaan legislatif)
3. Presiden (kekuasaan eksekutif)
4. BPK (kekuasaan inspektif)
5. MA dan MK (kekuasan yudikatif)
2.2 KEWENANGAN
2.2.1 Pengertian
Wewenang
adalah kekuasaan yang terdapat pada seseorang karena mendapat pengakuan atau
dukungan dari masyarakat. Kewenangan
menimbulkan hak-hak
tertentu pada
penguasa yang memungkinkan ia melakukan suatu kebijakan.
Sifat
dari kewenangan adalah top-down, dari penguasa ke rakyat. Wewenang timbul, karena
dukungan dari rakyat tersebut memberikan semacam hak bagi penguasa untuk
melakukan kebijakan berkaitan dengan tugasnya. Hubungan timbal-balik tersebut
timbul karena adanya suatu kesepahaman antara yang memimpin dan dipimpin.
Kekuasaan
dalam arti kewenangan diartikan bahwa pemegang kekuasaan memiliki sifat-sifat
yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan sebagian besar masyarakatnya.
Kewenangan ini tidak sama pada setiap pemegang kekuasaan.
2.2.2 Sumber Kewenangan
Sumber
kewengan untuk memerintah diuraikan sebagai berikut
· Hak memerintah berasal dari tradisi.
Artinya, kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus menerus oleh
masyarakat,
· Hak memerintah berasal dari Tuhan,
Dewa, atau Wahyu. Atas dasar itu, hak memerintah dianggap bersifat sakral,
· Hak memerintah berasal dari kualitas
pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang agung dan diri pribadinya yang
populer maupun karena kharisma,
· Hak memerintah masyarakat berasal
dari peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur dan syarat-syarat
menjadi pemimpin pemerintahan,
· Hak memerintah berasal dari sumber
yang bersifat instrumental seperti keahlian dan kekayaan
Kelima sumber kewenangan itu
disimpulkan menjadi dua tipe kewenangan utama, yaitu kewenangan yang bersifat
prosedural dan substansi ,
Kewenangan yang bersifat prosedural
ialah hak memerintah berdasarkan peraturan perundang-
undangannya yang bersifat tertulis
maupun tak tertulis, Kewenangan yang bersifat substansi ialah hak memerintah
berdasarkan faktor yang melekat pada diri pemimpin seperti tradisi, sakral,
kualitas pribadi dan instrumental,
Struktur masyarakat yang kompleks
ditandai oleh diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan, dan hubungan
impersonal yang sudah meluas sehingga masyarakat ini memerlukan
pengaturan-pengaturan yang bersifat tertulis dan rasional,
Sebaliknya masyarakat yang
stukturnya masih sederhana cenderung menggunakan tipe kewenangan
substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan pada tradisi, kepercayaan
pada kekuatan supranatural, dan kesetiaan pada tokoh pemimpin
2.2.3 Peralihan
Kewenangan
Menurut Paul Conn, secara umum terdapat tiga cara peralihan
kewenangan, yakni secara turun temurun, pemilihan dan paksaan.
Ø Secara
turun temurun ialah jabatan dan kewenangan dialihkan pada keturunan atau keluarga
pemegang jabatan terdahulu.
Ø Peralihan
dengan pemilihan dapat dilakukan secara langsung melalui badan perwakilan
rakyat, Hal ini dipraktekan dalam sistem politik demokrasi.
Ø Peralihan
kewenangan secara paksaan ialah jabatn dan kewenangan terpaksa dialihkan kepada
orang atau kelompok lain tidak menurut prosedur yang telah disepakati, melainkan
dengan menggunakan kekerasan seperti revolusi dan kudeta, dan ancaman kekerasan
(paksaan tak berdarah)
2.2.4 Sikap Terhadap Kewenangan
Pada umumnya sikap terhadap
kewenangan dikelompokkan dalam sikap menerima, mempertanyakan (skeptis ), dan
kombinasi keduanya.
Pertama sikap masyarakat
Amerika Serikat terhadap kewenangan prosedural merupakan perpaduan antara sikap
legalistik dan skeptis atas hukum yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman. Masyarakat yang semacam ini menganggap hukum bukan hal yang sakral.
Kedua, sikap masyarakat
Inggris atas kewenangan prosedural tidak sekental sikap masyarakat Amerika
karena Inggris tidak memiliki konstitusi. Hal ini tidak berarti seseorang yang
memiliki kewenangan dapat dengan semaunya menggunakan kewenangan untuk
kepentingan pribadi atau golongan.
Sebaliknya di Indonesia, sikap
itu masih beraneka ragam. Masyarakat suku Jawa cenderung menerima kewenangan
pribadi, sedangkan masyarakat dari Minang dan Batak cenderung menerima
kewenangan prosedural atau hukum adat.
2.3 LEGITIMASI
2.3.1 Pengertian
Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap
masyarakat terhadap kewenangan. Artinya apakah masyarakat menerima dan mengakui
hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat
maka kewenangan itu dikategorikan sebagai berlegitimasi. Hanya anggota
masyarakat saja yang dapat memberikan legitimasi pada kewenangan pemimpin yang
memerintah,
Legitimasi dapat dibedakan
pengertian kekuasaan, kewenangan, dan legitimasi. Apabila kekuasaan diartikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber yang mempengaruhi proses
politik, sedangkan kewenangan merupakan hak moral untuk menggunakan
sumber-sumber yang membuat dan melaksanakan keputusan politik (hak memerintah).
Adapun legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak
moral tersebut.
2.3.2 Obyek Legitimasi
Suatu sistem politik dapat lestari
apabila sistem poltik secara keseluruhan mendapatkan dukungan
seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat.
Menurut Easton terdapat tiga objek
dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak
hanya berlangsung secara terus-menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan
tuntutan menjadi kebijakan umum, ketiga objek legitimasi ini meliputi komunitas
politik, rezim dan pemerintahan,
Sementara itu Andrain menyebutkan
lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem
politik tetap berlangsung dan fungsional, Kelima objek legitimasi ini meliputi
masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan.
Yang dimaksud dengan legitimasi
terhadap komunitas politik ialah adanya kesediaan para anggota masyarakat yang
berasal dari berbagai kelompok yang berbeda latar belakang untuk hidup secara rukun
sebagai komunitas, Apabila dukungan terhadap komunitas politik belum cukup
tinggi maka dalam masyarakat terdapat masalah penciptaan identitas nasional (krisis
identitas). Manakala dukungan terhadap lembaga-lembaga politik masih lemah maka
dalam masyarakat terdapat krisis kelembagaan, Krisis kepemimpinan akan terjadi
pada masyarakat yang kurang mempercayai para pemimpin politik.
2.3.3 Kadar Legitimasi
a.
Pra legitimasi, ada dalam pemerintahan yang baru
terbentuk yang meyakini memiliki kewenangan tapi sebagian kelompok masyarakat
belum mengakuinya
b.
Berlegitimasi, yaitu ketika pemerintah bisa
meyakinkan masyarakat dan masyarakat menerima dan mengakuinya.
c.
Tak berlegitimasi, ketika pemimpin atau pemerintah
gagal mendapat pengakuan dari masyarakat tapi pemimpin tersebut menolak untuk
mengundurkan diri, akhirnya muncul tak berlegitimasi. Untuk mempertahankan
kewenangannya biasanya digunakan cara-cara kekerasan.
d.
Pasca legitimasi, yaitu ketika dasar legitimasi
sudah berubah.
2.3.4 Cara Mendapatkan Legitimasi
Cara-cara yang digunakan untuk
mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu simbolis, procedural dan materiil.
·
Pertama
memanipulasi kecenderungan – kecenderungan moral, emosional, tradisi dan kepercayaan,
dan nilai –nilai budaya pada umumnya dalam bentuk simbol-simbol ,
·
Kedua,
dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan materiil kepada masyarakat,
seperti menjamin tersedianya kebutuhan dasar (basic needs).
·
Ketiga,
dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil rakyat
untuk mengesahkan suatu kebijakan umum,
2.3.5. Tipe – Tipe Legitimasi
Ø Tradisional – tradisi
yang dipelihara dan dilembagakan contoh kerajaan.
Ø Ideologi – penafsir
dan pelaksana ideologi, untuk mendapat dan mempertahankan legitimasi bagi
kewenangannya juga menyingkirkan pihak yang membangkan terhadap kewenangannya.
Ø Kualitas pribadi –
kharisma, penampilan pribadi, atau prestasi
Ø Prosedural – peraturan
perundang-undangan
Ø Instrumental –
menjanjikan dan menjamin kesejahteraan materiil..
2.3.6. Manfaat
Legitimasi
1.
Menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial
2.
Mengatasi masalah lebih cepat
3.
Mengurangi penggunaan saran kekerasan fisik
4.
Memperluas bidang kesejahteraan atau meningkatkan kualita
kesejahteraan.
2.3.7 Krisis Legitimasi
Krisis legitimasi biasanya terjadi
pada masa transisi. Selain itu, perubahan yang terjadi dari suatu tingkat dan
kualitas perkembangan menuju ke tingkat dan kualitas perkembangan masyarakat
berikutnya. Masyarakat semacam ini akan cenderung mempertanyakan setiap
kewenangan yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi hidup dalam masyarakat,
Lucyan Pye menyebutkan empat sebab
krisis legitimasi:
·
Pertama,
prinsip kewenangan beralih pada prinsip kewenangan yang lain
·
Kedua,
persaingan yang sangat tajam dan tak sehat tetapi juga tak disalurkan melalui
prosedur yang seharusnya diantara para pemimpin pemerintahan sehingga terjadi
perpecahan dalam tubuh pemerintah
·
Ketiga,
pemerintah tak mampu memenuhi janjinya sehingga menimbulkan kekecewaan dan
keresahan di kalangan masyarakat
·
Keempat,
sosialisasi tentang kewengan mengalami perubahan
Krisis legitimasi akan semakin gawat
manakala pihak yang berwenang tidak tanggap atas perubahan sikap terhadap
kewenangan dalam masyarakat
2.4 HUBUNGAN ANTARA KEKUASAAN, WEWENANG DAN
LEGITIMASI
Kekuasaan yang telah memiliki
wewenang yang kemudian diakui atau terlegitimasi, maka akan ada sebuah siklus
hubungan yang saling mempengaruhi.
Kekuasaan hanyalah sebuah bentuk kekuatan atau pengaruh
yang tertanam pada setiap anggota, namun tidak terstruktur atau resmi maka
kekuasaan itu hanya sebuah bentuk yang semu dan tanpa disadari akan hilang
dengan sendirinya kekuasaan itu dan juga tidak bisa mendorong ataupun
memberikan hak untuk mengeluarkan perintah, membuat peraturan dan memberikan
sanksi pada yang tidak patuh atau yang salah.
Dan sebuah wewenang itu menjadi kunci untuk bisa
memberikan perintah, dan hak lain sebagai pennguasa. Ketika kekuasaan telah
memiliki wewenang, akan ada sebuah tantangan untuk bisa membuat anggota untuk
patuh dan mengikuti perintah dan aturan yang dibuat penguasa, maka harus ada
sebuah keterkaitan antara penguasa dan anggota masyarkat untuk membuat sebuah
Negara menjadi tenang dan tanpa kekerasan dalam pelaksanaan kekuasaannya.
Dibutuhkan sebuah pengakuan atau keabsahan dari kekuasaan
yang berwewenang, hal tersebut untuk menghindari kekerasan dan juga pemaksaan
pada anggota masyarakat untuk mengikuti aturan dan perintah dari penguasa.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Unsur-unsur yang harus diketahui dalam memahami konsep
kekuasaan, yaitu kewenangan dan legitimasi. Keduanya merupakan dua hal yang
sangat vital. Tanpa adanya legitimasi dari masyarakat sangat sulit bagi
penguasa untuk menjalankan kewenangannya. Kewenangan tanpa legitimasi penuh
masyarakat menyulitkan penguasa dalam menjalankan program dan kebijakannya. Kewenangan
merupakan akibat (hak moral) yang timbul sebab adanya legitimasi (dukungan)
dari masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
http://dibacaaja.wordpress.com/2012/02/26/kewenangan-dan-legitimasi/
http://arifcintaselvia.wordpress.com/kuliah/pipol-pengantar-ilmu-politik/kekuasaan-otoritas-dan-legitimasi/
http://pengantarilmupolitik.blogspot.com/
http://lotharmatheussitanggang.wordpress.com/2011/07/03/konsep-kekuasaan-kewenangan-dan-legitimasi/
http://nthatembem.blogspot.com/2009/10/penerapan-unsur-unsur-kekuasaan-dalam_07.html
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/KEKUASAAN,%20KEWENANGAN%20DAN%20LEGITIMASI.pdf
Mantap.. sangat membantu dalam tugas kuliah, trima kasih Bro...
BalasHapusOk... Sama2 Bro..
Hapus